بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

“Jikalau nanti Siti sudah menjadi ‘orang’, Siti gak akan minta bayaran, Pa. Gratis. Pengen punya yayasan sosial juga. Terserah apakah sekolah, panti jompo, panti asuhan, atau untuk anak-anak terlantar. Apapunlah yang tidak dimintai bayaran.” Suatu malam, Siti menyampaikan keinginan kepada ayahnya dalam suatu jamuan makan malam pada saat pulang kampung dalam rangka liburan kuliah.

Ayah, yang dipanggil “papa”, ringan menjawab, “Boleh, tapi kalau begitu Siti harus berusaha mencari suami yang kaya karena bagaimana Siti bisa membuat yayasan gratis atau bekerja tidak dibayar jika suaminya tidak kaya?”

Siti hanya tersenyum. Baginya, suami yang baik sudah cukup. Namun sebuah doa tentang sosok seorang suami yang diberikan oleh ibunya tak pernah lupa ia panjatkan kepada Tuhan, “Ya, Allah, berikan aku suami yang baik, pengasih dan penyayang, pintar, shaleh, kaya, berilmu, dekat kepada Engkau dan dekat kepada orang-orang yang mencintai-Mu dan yang Engkau cintai. Amiin, ya, Rabbal ‘alamiin.” Sekarang ia suka ketawa, apa bedanya pintar dengan berilmu? Oh, pintar mah dominan akal luar, sementara berilmu udah main akal jiwa. Gitu kali, ya…

Setapak demi setapak Siti pun merintis ‘karir gratisnya’ di sebuah kota jauh dari orang tuanya. Mulai dari menghabiskan uang untuk diberikan kepada yang membutuhkan walau ia sendiri harus menyisihkan 5 hari dalam seminggu untuk berpuasa, walau harus berjalan kaki dalam keadaan puasa dan letih dari ujung ke pangkal demi seorang pengemis, walau harus membagi dua makan siang dengan malam, walau harus makan nasi hanya dengan kecap, walau harus makan nasi saja, walau harus makan dengan nasi dan lauk yang mungkin sudah tak cukup layak, walau jarang punya makanan di kos, walau banyak menahan keinginan makan ini-itu, walau pernah hanya bisa minum selama tiga hari tanpa makan apapun, walau harus bekerja dan terus bekerja hingga larut malam ke larut malam lagi – apapun yang halal demi berusaha mencukupi kehidupan; hingga masuk ke beberapa kegiatan tanpa bayaran. Ketika bekerja pun, dengan gaji di bawah umr, dijalaninya. Seringkali kekurangan, tapi tak pernah orang lain tahu karena ia tak pernah berkisah, meminta, ataupun berhutang kepada siapapun. Malu kepada Tuhan. Jika ia meminta kepada orang lain, seakan-akan tak mempercayai Tuhan. Dibiarkannya Tuhan bergerak dengan lembut… tanpa ia sendiri menanti apa yang akan terjadi. Senyum yang terpancar dari kebahagiaan di hati merupakan hadiah tak terkira dari Tuhan. Kehadiran Tuhan adalah kawannya.

Dilihat dari kondisi orang tua, bisa dibilang cukup mampu jika Siti minta tambahan kiriman uang perbulan, tapi tampaknya sama sekali tak pernah terpikirkan hal itu olehnya. Entah kenapa. Mungkin karena pengen tahu sejauhmana batas kekuatannya dalam bergantung kepada Tuhan.

Entah sejak kapan, ketika seringkali keinginan-keinginan atau lintasan hatinya terkabul langsung atau kapanpun. Hanya baru menginginkan makanan atau minuman tapi ditahan karena merasa tak semua keinginan harus dipenuhi, datanglah teman yang membawakan makanan dan minuman yang sesuai pas dengan keinginannya. Pernah menabung untuk bisa membeli hewan qurban, tapi beberapa hari menjelang qurban, uangnya pun dipinjam. Eh, gak tahunya ada yang tiba-tiba datang dua hari sebelum qurban mengembalikan pinjaman uang sebulan lalu yang tak dipikirkannya lagi. Alhamdulillah. Tapi memang ia tidak pernah menginginkan yang aneh-aneh. Keinginannya ya sederhana aja, kayak contoh yang tadi. Sekarang-sekarang bahkan baru sebatas niat untuk berbuat baik, Allah sudah memberikan hadiahnya. Namun bukannya tidak pernah kebingungan ketika uang sudah hampir habis. Dalam kondisi begini, biasanya keinginan menjadi lebih banyak ingin ini-itu tapi tiada daya. Ya, harus menahan keinginan dengan lebih kuat… (dalam keadaan sedang kecukupan juga sebenarnya). Pada suatu kehamilan, tak punya biaya untuk melahirkan di rumah sakit dengan bantuan dokter/ bidan bahkan seperempat atau di bawah itu. Adalah suatu rezeki/ hadiah juga ketika dimunculkan Allah keberanian untuk berani melahirkan di bidan klinik, kesehatan untuk bisa melahirkan di bidan, dan dipertemukan dengan bidan terpercaya.Dan lain-lain banyak sekali ‘hadiah’. Kemampuan mensyukuri tiap jenis ‘hadiah’ adalah hadiah itu sendiri.

Selain kepada manusia, kepada hewan pun ia senang memberi. Makan di manapun tak lupa ia membawa sisa-sisa tulang atau nasi untuk kucing peliharaannya. Dalam doa pun disertakan, “Tolong kasih hewan-hewan di luar sana makanan dan minuman yang cukup, Tuhan. Jaga mereka.” Doa yang polos, padahal ia tahu Tuhan Maha Cinta Kasih. Sampai-sampai ketika kuliah, kucingnya sering mengantarkannya ke sebrang jalan sampai naik angkot.

Awal menikah, ia diuji dengan kekikiran. Sulit sekali rasanya untuk memberi. Aneh. Ia yang dulu suka ngasih, tetapi sekarang menjadi begitu kikir. Apalagi jika suami memberi kepada keluarganya, ia akan sewot. Ada apa ini? Ia pun berusaha mencari tahu.

Mungkin ini (salah satu) jawabannya:
Hmm, banyak ibadah yang dulu sebelum menikah setelah menikah sudah tak lagi dilakukannya seperti shalat malam, shalat dhuha, bahkan shalat sunat rawatib, berpuasa sunat senin-kamis dan puasa dawud, berdzikir dan berdoa tiap usai shalat, dan berdzikir selalu setiap saat mengingati-Nya Sang Maha Baik Hati (hiks!), serta membaca Al-Qur’an. Keletihan hati dan pikiran yang melumpuhkan jiwa dan raga membuatnya malas beribadah. Kemalasan beribadah pun pada akhirnya semakin melumpuhkan jiwa dan raganya. Baru tersadar. “Wahai, Sang Pemilik diri, bangkitkan aku karena-Mu!”
Dan entah mulai kapan… perlahan Tuhan mengangkat kembali keterpurukannya dalam ibadah lahir (dan sekarang sedang berusaha untuk bangkit dan istiqomah)… dengan Rahmat-Nya yang tiada terkira… “Terima kasih, Tuhan, kehendaki dan izinkan hamba senantiasa menempuh perjalanan ini demi diri-Mu semata. Amiin, ya, Rabbal ‘alamiin. Aku tak punya apa-apa selain diri-Mu.”

Mungkin memang benar, shalat (dan ibadah lainnya?) mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar. Orang tak akan berbuat keji dan munkar jika hatinya senantiasa mengingati Tuhan dan secara otomatis senantiasa terhubung kepada Tuhan. Hati yang bersih penuh Cinta Kasih.

Setiap awal bulan, ia akan membagi-bagikan uang untuk orang-orang tertentu yang memang sudah dirutinkan. Jangan pikirkan pada bulan ini mendapatkan uang berapa, baru memberi. Pastikan (insya Allah) saja bahwa mereka selalu mendapatkan uang, tekadnya.

Sekarang, ketika makan, hatinya seringkali remuk redam. Bagaikan menelan bara api rasanya. Apalagi jika perut terasa penuh. Hanya Tuhan yang merasakan pedih sembilu tertusuk duri hatinya. Di sini ia bisa makan enak, sementara di luar banyak yang tak mampu makan walau hanya berkecukupan dari nasi atau mengumpulkan sisa-sisa sampah. Betapa zalim diri ini, tak tahu malu; menumpuk bangkai di dalam perut. Karena itu ia pun berniat untuk meng’hukumi’ tiap makanan yang dimakan dengan ‘pembayaran’ tertentu tergantung makanannya. Kelak pengumpulan uang itu akan diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Lebih banyak baru niat, karena masih belum jelas bagaimana mengkadar tiap makanan. Dan mungkin belum cukup dengan cara seperti itu, karena ia masih mempunyai tabungan untuk ‘masa depan’: rumah (yang uangnya semakin berkurang karena diambil terus), tabungan pendidikan anak-anak. Toh dulu ia berpikir, “Untuk apa punya rumah sendiri, toh hidup nanti hanya singgah sebentar untuk istirahat di dalam rumah. Selebihnya adalah bekerja di luar. Rumah sewa saja.” Tapi mungkin tidak bisa seperti itu banget, ya… (tentang ini Siti belum paham ilmunya).

Hm, tampaknya bagi Siti, memberi bukan lagi kewajiban tetapi sudah merupakan kebutuhan. Sudah menjadi bagian dari diri yang tak terpisahkan hingga ia pun disadarkan dari berbagai arah bahwa “apakah dengan selalu gampang memberi kepada orang lain adalah suatu kebaikan bagi diri dan orang tersebut?” Tuhan belum menjawabnya… namun semoga dengan adanya kebutuhan untuk senantiasa memberi, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya untuk mampu memberi. Amiin, ya, Rabbal ‘alamiin.

Semoga Allah semakin dekat kepada kita semua. Amiin, ya, Rabbal ‘alamiin.

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Seperti yang diceritakan Siti…